Istana Sayap pelalawan



ISTANA SAYAP awalnya dibangun oleh Sultan Pelalawan ke 7, yakni Tengku Sontol Said Ali (1886 – 1892 M). Sebelum bangunan itu selesai, beliau mangkat digelar Marhum Mangkat di Balai. Selanjutnya pembangunan Istana ini diteruskan sampai selesai oleh pengganti beliau yakni Sultan Syarif Hasyim II (1892 – 1930 M).


Pada awalnya pusat kerajaan Pelalawan berada di Sungai Rasau (anak sungai Kampar), berlokasi di Kota Jauh dan Kota Dekat. Ketika Tengku Sontol Said Ali menjadi Sultan Pelalawan, beliau berazam memindahkan istananya dari sungai Rasau ke pinggir sungai Kampar, tepatnya di muara sungai Rasau yang disebut “Ujung Pantai”. Karenanya, istana ini dinamakan pula “ISTANA UJUNG PANTAI”. Namun ketika Sultan Syarif Hasyim II melanjutkan pembangunan istana yang masih terbengkalai karena mangkatnya Sultan Tengku Sontol Said Ali, maka beliau membangun dua sayap disamping kanan dan kiri istana, yang dijadikan Balai. Maka istana inipun dinamakan “ISTANA SAYAP”. Bangunan di sebelah kanan istana (sebelah hulu) disebut “Balai Sayap Hulu” yang berfungsi menjadi kantor Sultan”, dan bangunan di sebelah kiri Istana (sebelah hilir) dinamanakan “Balai Hilir” yang berfungsi sebagai “Balai Penghadapan” bagi seluruh rakyat Pelalawan.


Sekitar tahun 1896 M bangunan istana Sayap selesai seluruhnya, dan Sultan Syarif Hasyim II berpindah dari Istana Kota Dekat di sungai Rasau ke Istana Sayap di Ujung Pantai. Sejak itu, pusat pemerintahan kerajaan Pelalawan menetap di pinggir sungai Kampar yang sekarang menjadi Desa Pelalawan, dan Ibukota Kecamatan Pelalawan.


Untuk mengenang jasa Sultan Syarif Hasyim II yang memindahkan pusat pemerintahan kerajaan Pelalawan dari sungai Rasau ke pinggir sungai Kampar dimaksud, ketika mangkatnya beliau digelar “MARHUM KAMPAR II. (Marhum Kampar I adalah Sultan Mahmud Syah I, Sultan Melaka terakhir yang mangkat di Pekantua Kampar 1528 M).


FILOSOFI ISTANA SAYAP


Dahulu, setiap bangunan dirancang secara cermat, disempurnakan dengan berbagai syimbol dan makna, agar memberikan kenyamanan, kesejahteraan dan manfaat yang besar bagi penghuni dan pemiliknya. Acuan ini menyebabkan pembangunan Istana Sayap dirancang dengan berbagai pertimbangan, sehingga wujudlah tiga bangunan. Bangunan pertama adalah Bangunan Induk, sedangkan bangunan kedua dan ketiga yang terletak di samping kanan dan kiri bangunan induk dinamakan bangunan “Sayap Kanan” dan “Sayap Kiri”.


Di dalam budaya Melayu Riau, khasnya di kerajaan Pelalawan, setiap bangunan resmi terdiri dari bangunan Induk dan bangunan lainnya, yang lazim disebut “bangunan anak” atau “Bangunan Sayap”. Bila letaknya kearah belakang atau kemuka, dan menyatu dengan bangunan Induk, lazimnya disebut bangunan Anak, (selanjutnya disebut pula Selasar depan, selasar Belakang, Selasar Dalam, Selasar Luar, Selasar Jatuh, Gajah Menyusur dan sebagainya). Bila bangunan itu berada agak terpisah dan terletak simitris sebelah kanan dan kiri bangunan Induk, disebut “Sayap”. Lazimnya, bangunan Sayap hanya terdapat pada Istana Raja.


Di Istana Sayap, bangunan Induk adalah tempat Sultan beserta keluarga dan orang-orang yang bertugas di sana. Di bangunan ini pula terdapat ruang Penghadapan (ruang Peterakna), bilik tidur, dan ruangan anjungan yang diisi dengan segala alat dan kelengkapan kerjaaan. Menyatu dengan bangunan Induk, disebelah depan terdapat ruang Selasar Dalam dan Selasar Luar untuk tempat menghadap rakyat dan Orang-orang Besar Kerajaan. Di bagian belakang bangunan Induk ada ruangan Telo, dan di belakangnya lagi adalah ruangan Penanggah, tempat kegiatan pekerja rumah tangga Istana dan kelengkapan jamuan dan sebagainya.


Bangunan Induk mencerminkan Sultan sebagai “induk” dari rakyatnya, sesuai dengan ungkapan adat yang mangatakan:

“yang ayam ada induknya

Yang serai ada rumpunnya

Yang sungai ada guguknya

Yang keris ada hulunya

Yan tombak ada gagangnya

Yang rumah ada tuannya

Yang kampong ada penghulunya

Yang negeri ada rajanya”


Pembagian tata ruang diatur sesuai menurut ketentuan adat yang berlaku, sehingga siapaun yang masuk ke bangunan itu akan tahu dimana ia duduk dan dimana ia berdiri. Di dalam ungkapan adat dikatakan:

“Adat masuk ke rumah orang

Tahu duduk dengan tegaknya

Tahu susun dengan letaknya

Tahu atur dengan haknya

Tahu alur dengan patutnya”


Bangunan Anak yang disebut Sayap dibuat khusus dengan ukuran dan bentuk yang sama. Ketentuan ini mencerminkan kehidupan yang seimbang dan setara, adil dan tidak berat sebelah. Di dalam ungkapan adat dikatakan:

“Rumah Induk ada Anaknya

Anak di kanan anak di kiri

Anak dibuat sama setara

Sama bentuk dengan ukurnya

Sama jauh dengan dekatnya

Sama padan dengan takahnya

Tanda adil sama dijunjung

Tanda menimbang sama berat

Tanda mengukur sama panjang

Tanda menyukat sama penuh

Tanda berlaba sama mendapat

Tanda hilang sama merugi

Tanda berat sama dipikul

Tanda ringan sama dijinjing

Tanda ke laut sama berbasah

Tanda ke darat sama berkering

Tanda senasib sepenanggungan

Tanda seaib sama semalu”


Di dalam menentukan fungsi bangunan, maka Bangunan Induk tetap dijadikan teraju dan pucuk dari semua aktivitas dan makna di dalam kerajaan itu, Di dalam ungkapan adat dikatakan:

“Di dalam bangunan Induk

Terkandung tuah dengan marwah

Terkandung petuah dengan amanah

Terkandung janji dengan sumpah

Terkandung daulat dengan martabat

Terkandung makna dengan hakikat

Terkandung kasih dengan sayang

Terkandung beban berkepanjangan

Terkandung hutang tak berkesudahan

Hutang ke Allah hutang ke rakyat

Hutang tak dapat dibelah bagi

Hutang tak dapat diingkar-ingkari

Hutang amanah menebus sumpah”


Di dalam memfungsikan bangunan Sayap, ditetapkan, bahwa Sayap Kanan, yakni sebelah hulu dijadikan kantor Sultan, sesuai dengan ungkapan adat:

“Yang raja memegang hulu

Hulu bicara hulu rundingan

Hulu petuah hulu amanah

Hulu titah membawa berkah

Hulu nasehat membawa berkat”

“Di Sayap Kanan raja duduk

Mencari runding pada yang elok

Di sana yang kusut diselesaikan

Di sana yang keruh dijernihkan

Di sana yang bengkok diluruskan

Disana yang salah dibetulkan

Disana yang kesat diampelas

Disana yang berbongkol sama ditarah

Disana yang sumbang diperbaiki

Disana yang janggal dielokkan

Disana hukum ditegakkan”


Sedangkan bangunan Sayap sebelah kiri bangunan Induk, yakni yang sebelah hilir, dijadikan tempat menghadap rakyat kerajaan, sesuai dengan ungkapan adat:

“Yang rakyat memberi ingat Memberi bakti serta pendapat Memberi setia serta amanat Supaya berjalan tak salah langkah Supaya bercakap tak salah ucap Supaya memerintah tak salah titah Supaya berjalan tak salah pedoman Supaya berlayar kearah yang benar Disana tangan bebas melenggang Disana kaki bebas melangkah Disana lidah bebas bercakap Disana janji sama diikat Disana amanah dipegang erat”


Selain itu, simbol-simbol yang mengandung nilai-nilai luhur dan budaya tempatan tercermin pula dalam berbagai ornament dan sebagainya yang intinya mengacu kepada keutamaan raja dan raknyatnya yang hidup tersebati, menyatu bagaikan mata putih dengan mata hitam, sehingga rusak yang putih binasa yang hitam, dan rusak yang hitam binasa yang putih. Bersebatinya pemimpin dengan rakyatnya, serta mewujudkan kehidupan yang sejahtera lahiriah dan batiniah.


Pekanbaru, Juli 2006 Tenas Effendy

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel